“Knight Grand Cross Of The Order Of The
Bath” merupakan gelar kerhomatan dengan tingkatan tertinggi yang diberikan oleh
Ratu Elizabeth II. Gelar ini disematkan kepada salah satu Presiden Indonesia,
yakni Jenderal (HOR.) TNI (Purn.) Prof. Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono karena dinilai mampu melakukan suatu recognition—pengakuan.
Bapak
presiden kelima Indonesia yang akrab dengan sapaan SBY ini merupakan pesiden pertama pada masa reformasi yang
dipilih langsung secara pemilu yang terpisah dari pemilihan legislatif. Beliau
menjabat selama dua periode dengan wakilnya yang pertama Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, dan bersama Prof. Dr. Budiono di periode
keduanya. Berikut akan diuraikan beberapa kebijakan dan pencapaian selama
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono
Kondisi
perekonomian nasional selama masa pemerintahannya mengalami perkembangan yang
cukup baik. Presiden SBY berhasil membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh
pesat di tahun 2010 seiring pemulihan pasca krisis ekonomi global di tahun 2008
hingga 2009. Terbukti perekonomian Indonesia mampu bertahan dari ancaram krisis
ekonomi dan finansial yang menyerang zona Eropa. Di samping itu, pemulihan dan
pertahanan ekonomi global berhasil membawa dampak positif terkait perkembangan
sektor eksternal perekonomian nasional. Seperti tercatat mengenai pertumbuhan yang cukup tinggi dari kinerja
ekspor sektor nonmigas yang mencapai sekitar 17% pada triwulan IV tahun 2009
dan masih berkelanjutan di tahun 2010.
Pada masa
pemerintahan Presiden SBY, beberapa kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi
subsidi yang berdampak pada naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kebijakan menyalurkan
bantuan dana BOS untuk sarana pendidikan, dan menyalurkan Bantuan Langsung
Tunai (BLT) untuk masyarakat yang dianggap membutuhkan. Selama periode kedua,
pemerintah menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia, khususnya melalui Bank Indonesia, antara lain BI rate, yaitu kebijakan suku bunga yang mencerminkan
sikap kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; nilai tukar; operasi moneter; dan
kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu
lintas modal. Keempat kebijakan ekonomi tersebut mampu membawa pertumbuhan
perekonomian nasional mencapai angka 5-6%. Dengan angka tertingginya tercapai pada tahun
2011 yakni mencapai 6,5%.
Para
pengamat ekonomi beranggapan, salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian
nasional adalah kefektifan kebijakan pemerintah yang difokuskan pada tingginya
disiplin fiskal dan pengurangan utang negara terutama kepada organisasi
perekonomian internasional. Perkembangan yang terjadi selama pemerintahan Presiden SBY berhasil
merubah presepsi dunia terhadap Indonesia dengan cukup signifikan. Hal ini juga
berakibat terhadap meningkatnya minat para investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Nampak dari tingginya Indeks Harga Saham Gabungan yang
berhasil mencapai angka tertingginya sepanjang sejarah di masa itu, yakni
mencapai angka 3800 dan pada saat itu para pengamat dan pakar ekonomi berani
memprediksikan bahwa IHSG masih akan terus meningkat menembus angka 4000.
Terbukti juga dari berhasilnya Indonesia menduduki posisi ke-17 menjadi negara
dengan perekonomian terbesar di dunia.
Dilihat dalam hal perkembangan laju inflasi,
selama periode 2004 sampai 2011 perkembangan inflasi Indonesia sangat
fluktuatif dan bisa dikatakan cukup tinggi walau masih dalam batas aman. Hal
ini jauh melampaui target inflasi, seperti yang tencantum dalam APBNP II tahun
2005 dengan target inflasi 8,6% sedangkan realitanya inflasi melambung sampai
angka 17,92% di akhir tahun 2005. Salah satu penyebabnya adalah musibah gempa
bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sebagian Sumatra tepatnya tanggal 26
Desember 2004. Dampak dari bencana tersebut cukup memengaruhi laju inflasi yang
berlanjut di tahun 2005 hingga tahun 2006. Pemerintahan SBY-JK saat itu
memutuskan untuk menaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005 yang akhirnya berimbas
pada situasi perekonomian selanjutnya. Kebijakan menaikan harga BBM dianggap
harus dilaksanakan untuk menghadapi tekanan APBN yang makin berat karena
lonjakan harga minyak dunia, seperti yang sempat disinggung sebelumnya. Dengan
naiknya harga BBM tentu berimbas pada kenaikan biaya transportasi yang mencapai
lebih dari 40% sehingga menjadi penyumbang inflasi terbesar, yang kemudian
disusul dengan naiknya harga bahan makanan 18%. Core inflation atau inflasi inti pun naik menjadi 9,4%, yang
menunjukkan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas
moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif.
Seperti
yang sudah disinggung sebelumnya, terkait harga minyak, khususnya di tahun 2005
berdampak cukup besar terhadap perekonomian nasional pada saat itu. Terlepas
dari hal itu, pemerintahan pada saat itu masih mampu mengatasinya. Tercatat
pada tahun 2006 laju inflasi kembali berhasil dikendalikan sampai menyentuh
angka 6,6% yang kemudian berlanjut masih stagnan di posisi 6,59% di tahun 2007,
ini membuktikan perekonomian Indonesia dalam keadaan stabil pada saat itu dan
telah berhasil melompati batu rintangan yang menjadi hambatannya dalam
pertumbuhan perekonomian nasional. Berlanjut di tahun 2008 yang juga sempat
disinggung sebelumnya bahwa terjadi krisis global yang menggoncang perekonomian
dunia dengan diawali ketika Amerika Serikat gagal mengelola usaha properti,
yang berakibat terhadap angka inflasinya yang mencapai 11,06%. Amerika Serikat
yang merupakan negara adidaya tentu memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Waktu
terus bergulir, hingga sampai pada tahun 2009 kondisi perekonomian global,
khususnya Indonesia menunjukan perkembangan yang semakin membaik. Di Indonesia
dapat dilihat dari berhasil pemerintah membuat laju inflasi kembali stabil,
yakni mencapai 2,78%. Namun rintangan tidak berhenti sampai di sana. Pada tahun
2010 perekonomian global kembali dilanda
masalah, kembali terjadi krisis ekonomi di Eropa dan berpengaruh pada
perekonomian global, tentunya kondisi ini berdampak besar terhadap
negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sangat bergantung pada
organisasi perekonomian internasional, lembaga bank dunia dan IMF.
Masih
terkait dalah hal perekonomian, menganai perkembangan nilai tukar atau kurs
rupiah terhadap US Dolar juga perlu dijadikan parameter suatu perekonomian.
Selain inflasi, kurs mata uang juga memiliki peranan penting terhadap perubahan
neraca pembayaran Indonesia. Menurut data, perkembangan rkurs rupiah terhadap
US Dolar tidak terlalu mengalami fluktuasi sampai di tahun 2006 namun kemudian
terdepresiasi cukup besar di tahun 2007. Pada tahun 2004 kurs rupiah terhadap
dolar Amerika sebesar Rp9.311,00/USD, kemudian rupiah sedikit menguat di tahun
2005, yaitu Rp9.036,00/USD. Selanjutnya di tahun 2006 mulai terdepresiasi
menjadi Rp9.447,00/USD, dan kemudian terus terdepresiasi sampai tahun 2007 yang
menyentuh angka Rp11.005/USD. Mengenai hal ini, tentu pemerintah tidak tinggal
diam. Walaupun Indonesia menganut sistem kurs bebas, yaitu nilai tukar yang
sesuai dengan mekanisme pasar, pemerintah masih memiliki andil yang cukup
berarti turatama terkait permintaan dan penawaran valuta asing. Pemerintah
memang tidak secara langsung menetapkan pita interferensi atau batasan mengenai
kurs mata uang, tapi dengan beberapa kebijakan lain yang tidak terkait secara
langsung dengan nilai mata uang pemerintah mampu mengendalikan nilai rupiah
terhadap mata uang asing.
Terbukti
dari data yang ada, meskipun di tahun 2007 kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika
cukup lemah namun dengan kondisi perekonomian yang berangsur membaik mampu
menguatkan kembali nilai tukar Rupiah, yaitu sebesar Rp9.466,00/USD. Dan
kemudian di tahun-tahun selanjutnya pun nilai tukar Rupiah terhadap Dolar
Amerika cenderung stabil, dengan kisaran Rp9.065/USD hingga Rp9.879/USD.
Berfluktuasi kurs mata uang tentu dipengaruhi beberapa faktor, antara lain
terkait demand and supplay di pasar
valuta asing, pendapatan rill, ringkat suku bunga, serta kebijikan pemerintah
yang memiliki tujuan tertentu untuk mengendalikan perekonomia, inflasi, serta
nilai tukar rupiah.
Dilihat dari sektor lain seperti kemiskinan,
jumlah penduduk miskin berhasil ditekan menjadi 28,1 juta (11,4 persen) di
tahun 2013, lebih rendah dari tahun 2004 dengan penduduk miskin sejumlah 36,1
juta (16,7 persen). Salah satu rintangan yang dihadapi pemerintahan SBY adalah
meningkatnya harga minyak mentah dunia di tahun 2005 yang memberikan tekanan
terhadap perekonomian nasional. Tetapi hal ini masih mampu diatasi oleh
pemerintah pada masa itu, salah satunya dengan menjalankan langkah stabilisasi
dan perlindungan bagi penduduk miskin yang disemepurnakan dengan sistem
perlindungan sosial ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM);
program ‘Raskin’, yaitu dengan menyubsidi beras untuk masyarakat miskin;
program Askeskin atau Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat); Program
Keluarga Harapan (PKH); penyediaan dana Bantuan Siswa Miskin (BSM); dan program
kompensasi. Beberapa program di atas dapat dirasakan langsung dampak dan
hasilnya bagi masyarakat Indonesia dan terbukti berhasil menekan angka
kemiskinan di Indonesia meskipun perekonomian sempat mengalami perlambatan
dikarenakan resesi global dan krisis keungan di tahun 2008 sampai 2009.
Pemerintahan SBY juga memiliki catatan yang
cukup baik dalam hal mengatasi pengangguran. Menurut data Badan Pusat Statistik
(BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2012 mencapai
6,32% atau sekitar 7,61 juta jiwa. Pemerintah berhasil menurunkan sampai 6%
dari tahun sebelumnya yaitu 8,12 juta jiwa. Pada awal tahun 2012 jumlah
angkatan kerja di Indonesia bertambah sekitar 3 juta orang dibandingkan akhir
tahun 2011, yang awalnya 117,4 juta hingga menyentuh 120,4 juta orang dalam
waktu yang relatif singkat. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia
pada Februari 2012 mencapai 112,8 juta jiwa, bertambah sekitar 3,1 juta jiwa
dibanding Agustus 2011. Tercatat pula selama setahun terakhir, yakni 2011
sampai 2012 jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan dengan kenaikan
terbesar dari sektor perdagangan dengan bertambah 3,36% sekitar 780 ribu orang
serta sektor keuangan bertambah 34,96% setara dengan 720 ribu orang.
Terlepas
dari pencapaian di atas, dalam masa pemerintahannya SBY-JK dan SBY-Budiono juga
memiliki beberapa catatan yang kurang baik, antara lain utang negara yang terus
meningkat, berawal dari naiknya di tahun 2007 menjadi Rp141,18 Triliun dan
puncaknya di akhir pemerintahannya menyentuh angka Rp293,33 Triliun di tahun
2014. Selain itu, tingkat pengeluaran negara terkait administrasi yang dapat
dikatakan cukup tinggi hingga sebesar 15% di tahun 2006. Salah satu penyebabnya
adalah masih rumitnya sistem birokrasi yang ada sehingga berimbas pada
pengeluaran pengadministrasian yang tinggi. Hal ini menunjukan penghamburan
anggaran negara yang cukup signifikan dalam hal sumber daya publik yang
seharusnya hal itu masih dapat ditekan oleh pemerintah dengan kebijakan dan
program tertentu terkait sistem birokrasi negara. Kemudian, masalah yang cukup
disoroti selama pemerintahan SBY adalah permasalahan Bank Century. Pemeirntahan
SBY dianggap belum mampu menyelesaikan masalah tersebut.
Pada
tahun 2008 Bank Century mengalami likuiditas yang dianggap akan berimbas besar
terhadap perekonomian nasional pada saat itu. Pemerintah pun memutuskan untuk
memberikan bantuan untuk menyelamatkan Bank Century. Pemberian bantuan ini
menghabiskan biaya yang cukup besar. Hal ini akhirnya menimbulkan tanda tanya
besar. Pasalnya bantuan yang diizinkan pemerintah pada saat itu sebesar Rp1,3
Triliun, tapi kemudian membengkak sampai Rp6,7 Triliun. Tentu banyak pihak yang
mempertanyakan kemana mengalirnya uang tersebut dan apa yang terjadi terhadap
Bank Century. Banyak pula kecurigaan terhadap para petinggi Bank Century yang
dianggap tidak menggunakan uang bantuan tersebut seperti yang seharusnya.
Kemudian, setelah berjalan kurang lebih setahun,
untuk menyingkap kecurigaan yang ada dibentuklah PENSUS (Panitia Hak Angket
Century) dengan tujuan untuk menyelediki hal-hal yang mengganjal terkait
bantuan terhadap Bank Century. Tim penyelidikan tersebut hanya bertahan sekitar
3 bulan dan kemudian dibubarkan. Partai Demokrat dan PKB mengungapkan tim
penyelidikan tersebut tidak diperlukan karena menganggap tidak adanya penyelewengan
terkait bantuan tersebut. Pada akhirnya, kasus tersebut pun belum menghasilkan suatu
penyelesaian.
Di atas telah diuraikan mengenai kebijakan dan
pencapaian selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Singkatnya,
Presiden SBY behasil menorehkan catatan-catatan baik serta membawa Indonesia
menjadi lebih baik teruutama dalam hal pertumbuhan perekonomian nasional.
Beberapa pengamat juga mengungkapkan Presiden SBY berhasil membawa Indonesia
kembali ke kancah Internasional terlihat dari membaiknya spekulasi dunia.
Comments
Post a Comment